Header Ads

ABS: Mantan Pekerja Kini Jadi Pimpinan DPR RI

 


Dilahirkan sebagai bungsu dari lima bersaudara pasangan R Djendro Soenarjo dan RR Rosmarini tidak membuat Agung Budi Santoso menjadi sosok yang manja. Agung tetap diperlakukan sama seperti keempat kakak-kakaknya. Selain mengaji, sekolah menjadi hal yang wajib dijalaninya ketika kecil yang diakuinya tidak jauh berbeda dengan anak seusianya. Yang sedikit membedakan adalah pola hidup nomaden alias tidak menetap. Tapi jangan salah dulu, ia memang hidup tidak menetap di satu kota saja, melainkan di beberapa kota. Hal itu semata harus dijalaninya karena pekerjaan sang ayah yang seorang abdi negara alias seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Pajak (Kementerian Keuanganred), yang konon harus siap ditempatkan atau dimutasi ke daerah manapun. Agung  menjalani masa kanakkanaknya di Kota kelahirannya di Pekalongan, Jawa Tengah.



Kemudian Agung diboyong ikut kedua orang tuanya pindah ke Yogjakarta. Kelas 2 SD, ia harus mengikuti sang ayah pindah tugas lagi ke Surabaya, hingga lulus sekolah dasar. Masa-masa remaja awal alias ABG (anak baru gede) dihabiskannya di Yogjakarta dan Semarang hingga ia lulus SMP. Kurang lebih tiga tahun di Kota tersebut, ia kembali ke Surabaya hingga tamat dari SMA Negeri 5 Surabaya, yang notabene merupakan salah satu sekolah favorit di kota tersebut. Banyak tokoh-tokoh hebat yang dihasilkan dari sekolah tersebut seperti Menteri PUPR,  M. Basuki Hadimuljono, Basofi sudirman (mantan Gubernur Jawa Timur), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) serta legenda Bulutangkis Rudy Hartono Kurniawan. “Jadi kalau saya ditanya, asli mana? Saya jawab asli Indonesia. Karena Saya lahir di Pekalongan, masa kecil pindah ke Yogja dan Semarang, dan masa remaja di Surabaya, kuliah di Malang, dan sekarang menjadi anggota DPR RI mewakili Masyarakat dapil Jawa Barat I,” ujar Agung. 

Meski berada di sekolah favorit, Agung mengaku ketika itu sama sekali tidak terpikir di benaknya untuk menjadi anggota legislator ataupun seorang politisi. Bahkan diakuinya, Ia sama sekali belum memiliki cita-cita khusus ingin menjadi apa kelak. Tak heran ketika lulus SMA dan sang ayah menyuruhnya kuliah, ia mengaku bingung ingin mengambil fakultas dan jurusan apa. Namun, yang pasti Agung tidak suka dengan pelajaran matematika atau berhitung. Berbarengan dengan itu ia mendapat masukan dari sang guru bahwa ada salah satu jurusan ilmu hukum, yakni hokum tata negara yang masih minim peminat, namun prospek ke depannya sangat bagus. Singkat cerita pilihannya pun bulat untuk kuliah di Fakultas Hukum jurusan Hukum Tata Negara di  Universitas Merdeka, Malang. 

Masa-masa kuliah dilalui Agung dengan sangat bahagia. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, kedua orang tuanya selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Meski berat karena harus membiayai kuliah beberapa anaknya secara bersamaan, sang ayah tidak mengijinkan anakanaknya untuk kuliah sambal bekerja. Ia meminta sang anak fokus kuliah saja. Kenyataan itulah yang kemudian membuat Agung bertekad untuk segera menyelesaikan kuliahannya dengan tepat waktu. Meski fokus kuliah, di Kampus, Agung tetap mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan, salah satunya senat. Dari sejumlah teman wanitanya yang ada di organisasi tersebut, ada salah satu wanita yang cukup mencuri perhatiannya. Endah Winarti, begitu nama mahasiswi yang berhasil menarik perhatian Agung. Singkat cerita ia pun berkenalan dan dekat dengan wanita yang akrab disapa Wiwin tersebut. Namun saat itu belum terpikir olehnya untuk menjalani hubungan serius dengan Wiwin. Hingga kemudian Agung berhasil menyelesaikan  kuliahnya dalam waktu tepat empat tahun.

MENGADU NASIB DI IBU KOTA


Lulus kuliah, Agung kembali ke rumah orang tuanya di Yogjakarta. Tak berapa lama, sang kakak mengajaknya untuk hijrah ke Ibu Kota Jakarta. Tujuan utamanya tentu untuk mengadu nasib. Sayangnya, jauh panggang dari api, kenyataan tak seindah harapan. Meski sudah menyandang gelar Sarjana Hukum, namun tidak mudah baginya untuk mendapat pekerjaan di Ibu Kota. Hingga  kemudian Agung menjajal menjadi sales salah satu komoditi. Hanya hitungan bulan, Agung pun menyudahi pekerjaan tersebut karena sadar sales bukanlah passion dirinya. Sang kakak kemudian menitipkan Agung ke temannya yang bekerja di PT Harna Caraka di Pondok Indah, milik Hariyadi Usman. 

Perusahaan baru ini bergerak di bidang budidaya mutiara. Agung mendampingi sang bos mengurusi legalitas usaha termasuk mengurusi permintaan kredit, perijinan dan pembebasan lahan di Lampung. Mengingat jarak antara rumah sang kakak dengan kantor Agung cukup jauh, maka untuk menghemat biaya dan waktu Agung meminta ijin untuk tinggal di kantor. Gayung bersambut, di ruko lantai tiga itu Agung diijinkan untuk tinggal di lantai satu yang merupakan kantor tempatnya bekerja, sedangkan lantai dua dan tiga khusus digunakan untuk keluarga sang bos. “Jadi setelah jam kerja saya selesai, saya langsung gelar Kasur untuk tidur. Tidak hanya itu, saya juga terkadang jadi supir, jemput anak-anak bos pulang les atau sekolah. Yah, serabutan lah. Saya sih tidak masalah karena di Jakarta saya juga belum punya pengalaman kerja apa-apa, jadi ya saya nikmati aja

Sabtu minggu saya pulang ke rumah kakak saya di Ciledug. Dengan begitu saya bisa menghemat ongkos, dan menghemat biaya makan, karena kadang saya juga makan bareng bos dan keluarganya,”kenang Agung. Sayangnya kebahagian itu tak berlangsung lama. Perusahaan tersebut bangkrut. Satu per satu   karyawannya di PHK (pemutusan hubungan kerja) alias dipecat, hingga lambat laun pun hal itu dialami, Agung juga. Ia tak menyesalinya, karena selama beberapa tahun ini banyak pengalaman  bekerja yang ia dapatkan.

Dalam kondisi menganggur, orang tua sang kekasih yang sejak empat tahun dipacarinya secara long distance relationship alias LDR itu mempertanyakan keseriusan atau kesungguhan Agung dalam menjalin hubungan dengan sang putri. Singkat cerita sang calon mertua berharap agar Agung segera menikahi putrinya.  “Saat itu saya katakan bahwa kapan saja saya siap untuk menikah. Tapi jujur, untuk saat ini saya masih belum mapan, pekerjaan saya juga masih belum jelas,” kenangnya ketika itu Mendengar hal tersebut, sang calon mertua pun mengingatkan bahwa usia Agung dan Wiwin saat itu yang sudah menginjak 27 tahun, bukan tergolong ABG lagi. Dengan berbagai pertimbangan dan kesungguhan cinta keduanya, diiringi kalimat Bismillahirohmanirahim akhirnya sang calon mertua pun mengamini Agung untuk menikah putrinya di Blitar.

MENIKAH DAN JADI PEKERJA BANGUNAN



Permasalahan baru muncul. Agung harus Kembali mengadu peruntungan ke Jakarta. Sementara sang isteri yang sejatinya sudah memiliki pekerjaan yang mapan yakni sebagai legal di salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Blitar. Dengan melalui proses diskusi, keduanya memutuskan untuk bersama-sama berjuang di Jakarta. Agung pun memboyong sang isteri ke rumah sang kakak, di Jakarta. Wiwin pun tak kuasa menampik hal tersebut, karena memang kondisi ekonomi sang suami yang ketika itu belum memungkinkan untuk mengontrak sebuah rumah. Tanpa mengenal lelah, Agung terus mencari pekerjaan. Bahkan ia pernah menjadi sales minyak wangi, serta kosmetik wanita. Saat itu, tiba-tiba Wiwin teringat Kartu Nama dan sepucuk surat bertuliskan aksara Cina dari mantan bos nya di BPR Blitar. Sang bos meminta Wiwin mencari alamat yang ada dalam kartu nama tersebut. Setelah bertemu alamat dan orang yang dimaksud, entah apa yang ditulis sang mantan  boss dalam surat tersebut, namun yang pasti setelah membaca surat tersebut, orang yang diketahui bernama Budi meminta Wiwin untuk bekerja di perusahaannya sebagai HRD. Sementara Agung masih menjadi sales minyak wangi (parfum). Suatu ketika terbersit keinginan Agung untuk menjual parfum dan kosmetik ke salah seorang saudaranya Hadi utomo di bilangan Condet. 


Agung Bahagia dengan respon saudaranya tersebut. Tidak hanya barang dagangannya yang diborong oleh Hadi Utomo dan isteri, Agung juga diberikan tambahan uang. Bahkan Hadi Utomo juga meminta Agung bekerja sebagai pengawas di perusahaan kontruksi milik rekannya. Meski belum pernah menjajal pekerjaan di bidang kontraktor, Agung tidak ingin menolak rejeki. Singkat cerita Agung pun bekerja sebagai pengawas di perusahaan tersebut. Tidak ingin hanya menjadi pengawas proyek, ia pun mempelajari berbagai cara dan istilah bangunan.   

Lambat laun, perekonomian Agung dan isteri mulai meningkat. Bagi sang isteri itu saatnya mereka berdua harus mandiri, dan tidak lagi merepotkan sang kakak. Dengan berbekal uang pinjaman sebesar 1 juta rupiah keduanya pun mengontrak sebuah rumah selama satu tahun, hingga kemudian putra pertama mereka, Ramadhan Satriya Wicaksana lahir. Dewi Fortuna pun perlahan menghampiri Agung. Atas kerja kerasnya di perusahaan kontruksi milik Hadi Utomo, apapun diberikan bonus satu unit rumah di salah satu  perumahan di Depok yang pernah ia bangun. Heran dan bingung sudah pasti dirasakannya. Tak henti-hentinya Agung mengucapkan syukur atas segala rizki yang diterimanya saat itu. Ia pun pindah untuk pertama kalinya ke rumah sendiri. Ketika tengah asik menikmati rumah baru bersama keluarga kecilnya, ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa perusahaan konstruksi yang menaunginya mulai goyah dan akhirnya ia pun mengundurkan diri. Dari sana Agung diminta Hadi Utomo untuk membantunya di rumah pribadinya. Singkat cerita, tidak berapa lama mendampingi Hadi Utomo yang ketika itu menjabat sebagai Wasekjen Partai Demokrat memintanya untuk ikut mencalonkan diri sebagai calon anggota legislative (Caleg). Tidak tanggungtanggung Agung diminta untuk mewakili masyarakat dapil Jawa Barat I untuk DPR RI.

MENJADI ANGGOTA DPR RI TIGA PERIODE


Tahun 2003 Agung pun resmi menjadi caleg DPR RI dari Partai Demokrat. Uniknya, di pengalaman pertama ini, ia mewakili dapil Jawa Barat I yang notabene daerah yang belum pernah ditinggalinya dan berhasil meraih suara terbanyak. Sayangnya ketika itu sistem pemilu di Indonesia masih mengandalkan nomor urut. Jadi, meski berhasil meraup suara terbayak, karena Namanya berada di urutan kedua, dan di dapil Jawa Barat I Partai Demokrat hanya memperoleh satu kursi, maka Agung pun urung melangkah ke Senayan. 

Baru kemudian di periode berikutnya, yakni 2009 dimana ketika itu Hadi Utomo menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan sistem pemilu pun sudah berganti berdasarkan suara terbanyak, Agung Kembali mencalonkan diri dan ia kembali berhasil meraup suara terbanyak. Dan kali ini suara yang terkumpul tersebut berhasil mengantarkannya ke Senayan. “Meski setelah itu saya mengikuti berbagai pelatihanpelatihan yang diberikan oleh Partai Demokrat, namun saya harus akui bahwa guru utama saya dalam politik dan kehidupan ya almarhum Pak Hadi Utomo. Dan satu ajaran beliau yang saya ingat, bahwa kita harus naik karena prestasi, bukan karena hasil cari muka dan sebagainya,” paparnya. Selain itu, kedisiplinan yang selalu diperlihatkan almarhum Hadi Utomo akan terus diterapkannya. Bahkan sikap dan perhatiannya baik kepada atasan, teman, maupun bawahan menjadi contoh tersendiri bagi Agung. Lekat di benak Agung, Hadi Utomo pernah mengatakan kepadanya bahwa keberhasilan yang diraihnya saat itu merupakan bantuan, kerjasama dan doa dari semua pihak, termasuk teman dan bawahannya. Kini sudah tiga periode Agung mendiami DPR RI sebagai anggota DPR RI, baik sebagai Anggota Komisi V maupun Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Namun khusus untuk periode Tahun 2019-2024 ini fraksi Partai Demokrat mempercayai Agung untuk duduk di Komisi II kemudian sekarang di Komisi III  sekaligus menjadi Ketua BURT DPR RI.




“Tiga periode sudah saya menjadi Anggota DPR RI, InsyaAllah mungkin 1-2 periode lagi saya akan mencalonkan diri menjadi Anggota DPR RI. Setelah itu saya akan berhenti dan akan menikmati hidup Bersama keluarga, sekaligus menjalani profesi baru sebagai ‘MC’ alias momong cucu,” tawa pria kelahiran 13 November 1966. Diakuinya, beberapa tahun belakangan, ia mulai menyiapkan anak sulungnya, Ramadhan Satriya Wicaksana untuk mengikuti jejaknya berkiprah dalam panggung politik tanah air. Kebetulan Rama, begitu sapaannya, memiliki passion yang sama dengan dirinya.  Sementara putri bungsunya, Shinta Saraswati memilih berkarir di bidang lainnya di luar panggung perpolitikan tanah air. “Saya sebenarnya membebaskan anak-anak saya untuk memilih karirnya dan bidangnya masingmasing. Kebetulan Mas Rama memiliki ketertarikan yang sama di dunia politik. Sempat ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, namun gagal. Sekarang  dia malah diterima berkarir di KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha),” pungkasnya





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.